Menggali Sumur Peradaban di
Ladang Reformasi
Oleh:
Maulana Jayadin, Mahasiswa Fakultas FKIP, Jurusan Pendidikan MIPA, Universitas
Haluoleo.
Indonesia,
negara makmur dan subur tanahnya diikuti oleh kemakmuran dan kesuburan masalah
yang dihadapinya. Masalah itu seakan terjadi secara kontinu, berlangsung begitu
menarik, hingga menjadi santapan rutin pemirsa media cetak dan elektronik.
Sungguh naas bagi bangsa ini, beribu upaya telah dieksperimenkan untuk
mengatasi masalah yang kian menggunung tersebut. Wacana tinggal wacana,
bencana semakin merana. Dongeng kemakmuran bangsa, cerita kebanggaan negara
hanya menjadi konsep lama yang telah tertutup kabut masalah.
Harapan
kemakmuran bangsa itu sebenarnya sempat terdengar begitu jelas ketika ribuan
mahasiswa menembus jantung pemerintahan, menggulingkan sang diktator bangsa,
dan menginjak gedung perjudian para kaum elit negara yang sering digunakan untuk
menggaungkan kesejahteraan rakyat jelata demi taruhan tunai yang menghijaukan
mata. Reformasi, itulah satu kata yang diteriakkan begitu jelas oleh superhero
muda pada saat itu dengan begitu lantang dan dipenuhi dengan bara semangat.
Namun, apakah sekarang kita sudah begitu makmur? Tentu tidak. Lalu, harapan
kemakmuran mana yang dijanjikan untuk dinikmati segelintir masyarakat
pinggiran? Jawabannya sangat jelas, lenyap tanpa bekas.
Melihat
kesenjangan antara harapan dan realita, tentu menuai pertanyaan tentang tujuan
para oposisi mutlak pemerintah menguapkan harapan besar itu ke permukaan.
Tujuan dari mimpi itu pada hakikatnya adalah menciptakan keadilan dan ekonomi
yang makmur bagi bangsa Indonesia melalui reformasi berbagai sektor, terutama
sektor birokrasi, hukum, dan ekonomi. Sektor-sektor inilah yang paling sering
mendapat sorotan tajam dari kaum pemerhati masyarakat. Betapa tidak, kasus demi
kasus seiringan bersahut-sahutan menjadi top news media. Kalau bukan
korupsi, tawuran, kenaikan harga barang, paling tidak reshuffle kabinet
yang mencerminkan kegagalan singa reformasi melindungi bangsanya yang
tertindas.
Pada awal
kemunculan wacana reformasi, konsep dasar yang paling pertama diusungkan adalah
penggulingan pemerintahan rezim Presiden Soeharto. Pada waktu itu, muncul
tokoh-tokoh pembaharu yang bercuap-cuap akan membela rakyat dan mensejahterakan
rakyat dengan menentang pemerintahan yang dianggap arogan tersebut. Nyawa
sebagai taruhan, yang mati akan disebut ‘pahlawan’, yang selamat dan duduk di
kekuasaan lambat laun akan berubah dan lupa komitmen awal perjuangan. Alhasil,
tujuannya menggulingkan peradaban yang otoriter malah memunculkan peradaban
yang kebablasan dengan segala pernak-pernik di dalamnya.
Masyarakat
dalam Reformasi
Mengenai
masalah tersebut, masyarakat pinggiran tidak mau ambil pusing dengan lingkaran
reformasi yang katanya dapat mensejahterhakan mereka. Sebab dalam kenyataannya,
mereka masih hidup dalam lubang kesengsaraan di arus perbincangan reformasi
yang tidak jelas buktinya. Pada intinya, yang mereka tahu hanyalah mencari
makan untuk hari ini sambil memikirkan hidangan apa yang dapat mereka santap
besok. Begitulah perputaran hidup mereka, tidak ada waktu hanya untuk sekedar
memikirkan segelintir masalah negara karena masalah besar mereka justru ada di
hadapan mereka.
Saat ini,
kepercayaan rakyat pada penciptaan reformasi telah luntur ditelan waktu.
Pemerintah boleh mengklaim bahwa melalui reformasi meraka telah mengurangi
kemiskinan. Yah, setidaknya mengangkat derajat rakyat dari bawah garis
kemiskinan menjadi tepat di garis kemiskinan. Survey pemerintah yang lain juga
boleh mengatakan bahwa income perkapita negeri ini telah membaik, tetapi
hal ini justru tidak mewakili keberadaan masyarakat kolong jembatan yang tentu
jauh dari standarisasi pendapatan yang layak. Jika begitu keadaannya, reformasi
apa lagi yang harus rakyat mimpikan?
Refleksi
Perjalanan Panjang Reformasi
Perjalanan
panjang reformasi dimulai ketika muncul ketidakpuasan rakyat atas pemerintahan
otoriter yang dipertontonkan oleh rezim Soeharto. Saat itu, rakyat sudah
melihat adanya penyelewengan dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini ditandai
dengan maraknya praktek KKN dan menjadikan rakyat sebagai objek pemerasan oleh
birokrat. Sehingga, mahasiswa yang dibantu oleh masyarakat dan tokoh nasional
mulai menyusun strategi untuk menggulingkan pemerintahan tersebut. Puncaknya
terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 ketika penurunan Presiden Soeharto harus
dibayar mahal dengan hilangnya nyawa tiga orang panji reformasi yang dengan
ikhlas memperjuangkan hak rakyat.
Jatuhnya
rezim yang terkenal dengan rezim orde baru tersebut tidak lantas menyelesaikan
masalah negara yang begitu pekat terasa di hati rakyat Indonesia. Keadaaan ini
membuat para tokoh reformasi memutarbalikkan otak untuk mencari jalan keluar
terbaik bagi permasalahan bangsa, hingga muncullah gagasan yang selanjutnya
dibingkai dalam Kabinet Reformasi. Seiring tapak reformasi dilangkahkan,
maka pembenahanpun dilakukan dengan diajukannya usulan reformasi birokrasi,
hukum, ekonomi, dan lain-lain.
Reformasi
birokrasi adalah reformasi yang paling banyak mendapat sorotan dari masyarakat.
Dalam hal ini, ada lima indikator yang menghambat diterapkannya reformasi
birokrasi. Pertama, seperti tidak ada sistem intensif untuk melakukan perbaikan.
Kedua, buruknya tingkat diskresi. Diskresi membutuhkan rambu-rambu, antara lain
asas-asas umum pemerintahan yang baik, sesuai dengan tujuan pemberian diskresi
itu sendiri. Ketiga, gaya birokrasi yang bersifat nepotisme, gaya ini sudah
mulai subur kembali di kalangan birokrat dan tidak ubahnya seperti pada masa
Orde Baru, birokrasi dijadikan lahan subur untuk praktik Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme (KKN). Bahkan, tokoh reformasi, Amien Rais, menyatakan bahwa pada
awalnya wacana agar presiden dipilih langsung oleh rakyat adalah untuk
menghindari politik uang, karena kalau yang memilih 550 anggota MPR itu sangat
rentan dengan politik uang. Tetapi di luar dugaan semula, pemilihan langsung
juga sangat rentan dengan uang, bahkan lebih ironis karena telah menyentuh
tingkat daerah. Keempat, kurang sinkronnya antara atasan dan bawahan serta
jajaran birokrat yang terkait. Hal ini mengakibatkan tidak optimalnya sistem
pelayanan publik yang selama ini didambakan oleh rakyat. Kelima, masih
kurangnya sosial kontrol anggota DPRD terhadap kinerja birokrasi yang
mengakibatkan pelayanan publik terabaikan.
Jika dalam
birokrasi saja telah mengalami kekacauan, tentu dampaknya akan merebak ke
sektor lain termasuk sektor hukum. Dalam sektor ini, reformasi yang dilakukan
adalah dengan menciptakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan
membuat lembaga independent yang dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Di awal
kinerjanya, lembaga ini sukses menjaring para penjilat uang rakyat hingga ke
tingkat pemerintah pusat dan daerah. Sepak terjang KPK inilah yang justru
menjadi bumerang bagi keberlanjutannya, karena serangan balik ‘buaya’ hingga
‘biawak’ secara bertubi-tubi mendera lembaga ini. Akhirnya, sejumlah ketua
lembaga ini dijerat perangkap yang membuatnya harus angkat kaki dari lembaga
ini. Serangan korupsipun dilanjutkan, tetapi yang satu ini malah makin
beringas, sehingga memaksa petinggi negara untuk mencari sang pembasmi koruptor
lain untuk mengurangi korupsi yang terjadi. Lalu, apakah dengan pergantian
pemimpin itu dapat membayar harga kepuasan masyarakat yang sempat meluap?
Reformasi
yang tidak kalah penting adalah reformasi dalam sektor ekonomi. Potret
kemiskinan di kota-kota besar ditandai dengan menjamurnya rumah-rumah semi
permanen di bantaran sungai dan sisi rel kereta api, banyaknya anak jalanan,
pengemis dan gelandangan. Sementara di pedesaan, kemiskinan ditunjukkan dengan
keterbatasan infrastruktur, rendahnya akses pendidikan dan informasi, serta
semakin banyaknya generasi muda yang memilih bekerja sebagai buruh migran di
negara-negara tetangga. Definisi kemiskinan maupun parameter yang digunakan
untuk menentukan miskin tidaknya seseorang, seringkali berbeda antara satu
dengan lainnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh titik pijak yang berbeda,
sebagai misal angka kemiskinan versi BPS akan berbeda dengan versi World Bank.
Di tingkat tataran mikro, secara ekstrim dapat digambarkan bahwa miskin
tidaknya seseorang ditentukan oleh Surat Keterangan Miskin dari Ketua RT. Angka
kemiskinan di Indonesia berdasarkan catatan BPS pada tahun 2010 masih cukup
tinggi yaitu di kisaran angka 14 persen. Jadi, apakah dengan data ini
pemerintah akan mengelak lagi bahwa keberhasilannya dalam menuntaskan
kemiskinan masih memiliki IPK di bawah 2,5?
Menggali
kembali harapan peradaban reformasi
Tidak bisa
disangkal bahwa reformasi yang dulu kita cita-citakan tidak mengalami
perkembangan yang begitu signifikan. Kembali ke hakekat reformasi bahwa
reformasi memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat
pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Selama keteraturan lembaga
birokrasi dan penegakan hukum itu mampu dipertahankan untuk bangsa, pasti jalan
itu akan terbuka lebar. Kita sekarang ibarat menggali sebuah sumur peradaban
sebagai sumber kehidupan di tengah ladang reformasi yang begitu keras. Sekarang
waktunya kita bangun dan sadar bahwa inilah surga kita, surga tempat kita
dilahirkan, mari kita bangun bangsa melalui reformasi sesungguhnya dengan penuh
kebanggaan dan berteriak dalam hati ‘Inilah Indonesiaku’.
Biodata:
Judul
Naskah: Menggali Sumur Peradaban di Ladang Reformasi
Nama
Penulis: Maulana Jayadin
Tempat &
Tanggal Lahir: Kolaka, 08 Oktober 1992
Nama
Perguruan Tinggi: Universitas Haluoleo
Nama
Fakultas, Jurusan: FKIP, Pend. MIPA
Domisili
(Alamat Surat): Jl. Jend. A.H. Nasution, Lr. H. Guntur, Kendari
Alamat
Email: adhin.ani@gmail.com
Telepon: -
Ponsel:
085241632778
Tidak ada komentar:
Posting Komentar