Pendidikan
dalam Pusaran Politik
Oleh:
Maulana Jayadin
Berbicara tentang
pendidikan politik tentu berbeda dengan politik pendidikan. Pendidikan politik
berkaitan dengan membentuk pemahaman masyarakat seputar dunia politik.
Sedangkan politik pendidikan justru identik terhadap hal negatif yaitu berkaitan
dengan upaya satu atau segelintir orang untuk menggunakan dunia pendidikan
sebagai alat sekaligus target politiknya. Walaupun berbeda, antara pendidikan
politik dan politik pendidikan memiliki hubungan sebab akibat yang sangat
kental.
Politik pendidikan
memang bukan hal yang baru bagi masyarakat. Sifatnya seperti “hantu” karena
dapat dirasakan tetapi terkadang sulit dibuktikan karena alasan-alasan
tertentu. Pendidikan pun juga bukan hal yang tidak mungkin dipolitisir. Sebagai
sebuah sarana untuk membentuk paradigma dan kepribadian masyarakat, pendidikan
berubah menjadi lahan subur bagi para politikus yang ingin memanfaatkannya
untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Hubungan politik dan
pendidikan sebenarnya dapat diibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak dapat
dipisahkan. Sebagai tempat untuk melahirkan generasi penerus bangsa, maka
secara tidak langsung pendidikan pun menjadi tempat berkembangnya para
politikus muda. Peserta didik akan dihadapkan dengan permasalahan yang terjadi
di negaranya lalu merekapun akan termotivasi untuk mencari solusi terhadap hal
tersebut. Bahkan mereka tidak segan untuk terlibat langsung di dalamnya. Jadi
jangan heran jika selalu bermunculan anak-anak di bawah 17 tahun yang sudah
melek politik atau menjadi anggota partai politik tertentu. Begitu pula
sebaliknya, sistem politik yang begitu komplit akan bertanggung jawab terhadap
setiap kehidupan bangsa Indonesia di berbagai bidang, termasuk pendidikan.
Meski sistem politik tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan kebijakan,
tetapi para wakilnya di legislatif dan eksekutif akan mengambil peran penting
dalam pengambilan kebijakan tersebut. Sehingga terjadi siklus yaitu politik
mengatur pendidikan dan pendidikan membentuk dunia politik.
Kasus tercemarnya
pendidikan dalam dunia politik merupakan fakta lama yang diungkap kembali.
Fakta tersebut telah terjadi sejak zaman Kerajaan Hindu di Indonesia mulai
berkembang saat itu. Adanya perbedaan kasta menyebakan pendidikan harus
diterima berbeda oleh masyarakat yang memahami perbedaan kasta tersebut. Begitu
juga pada zaman Kerajaan Islam dimana keraton mengambil peranan penting dalam
perkembangan pondok pesantren, meskipun pada perkembangannya kendali pondok
pesantren di ambil alih oleh para kyai dan ulama. Termasuk pula perbedaan
antara derajat pendidikan masyarakat pribumi dan kolonial pada Zaman Penjajahan
Kolonial Belanda dimana bangsa pribumi mendapat pendidikan yang sangat rendah
bahkan di tanahnya sendiri. Intervensi dunia pendidikan juga terjadi pada masa
Orde Baru dimana Presiden Soeharto memegang penuh kendali politik dalam dunia
pendidikan di era itu. Bertahannya Presiden Soeharto selama 32 tahun menjabat
merupakan hasil konkrit dari intervensi tersebut. Hal inilah yang nantinya menyebabkan
terciptanya budaya intervensi tersebut seperti yang dirasakan sekarang ini.
Pendidikan
dalam Proyek Politik
Sesuai dengan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 31 ayat 4 secara eksplisit
dinyatakan bahwa anggran pendidikan diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Dengan angka yang cukup fantastis tersebut, pendidikan menjadi
daya tarik sendiri bagi para pemegang proyek di negeri ini yang mana di
dalamnya terdapat oknum politik. Sehingga tidak jarang ada komentar miring yang
beredar bahwa beberapa kebijakan pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), pembuatan kurikulum baru, serta beberapa kebijakan pendidikan lainnya di
tingkat pusat dan daerah, dipandang sebagai sebuah megaproyek para pemegang
kekuasaan.
Kesan pragmatis itupun
sering terlihat ketika menjelang pilkada berlangsung. Dengan berbekal
pemantauan di lapangan dan rasa optimis, para calonpun membeberkan rencana
programnya di bidang pendidikan mulai dari bantuan sarana dan prasarana
sekolah, alat tulis, beasiswa, hingga biaya sekolah yang ditanggung oleh pemerintah.
Saling klaim program terbaik pun tak terelakkan. Meskipun nanti pasca
tepilihnya, proyek yang digadang-gadang dapat meningkatkan kualitas pendidikan
tersebut dinilai tak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan pendidikan di
daerahnya itu. Sebab, kalau memang niatan sudah proyek, tujuannya juga pasti ke
arah proyek. Masyarakat tentu lebih layak menilai hal tersebut. Apalagi
proyek-proyek yang dimainkan itu ikut menjadi bulan-bulanan oknum sekolah yang
tidak bertanggung jawab. Masyarakat pun hanya mendapat potongan bantungan yang
sudah dipotong pula.
Guru
dan Politik
Sebagai seorang yang
berperan penting dalam proses pembelajaran serta berinteraksi langsung dengan
siswa, warga sekolah, orang tua siswa, hingga masyarakat, guru dinilai sebagai
objek politik yang sangat menjanjikan. Maka tak heran jika banyak oknum guru
yang mumpuni terlibat dalam politik praktis baik karena dilibatkan maupun
karena melibatkan diri dalam proses perpolitikan tersebut. Namun, baik secara
langsung atau tidak, ada juga guru yang hanya dimanfaatkan oleh kepentingan
tertentu dan ada pula yang termanfaatkan oleh kepentingan tersebut.
Masih teringat dengan
jelas beberapa kasus mutasi guru dan kepala sekolah di beberapa kabupaten dan
kota di Sulawesi Tenggara yang terindikasi berkaitan dengan proses pilkada yang
berlangsung. Ada yang terindikasi karena keluarganya adalah lawan politik incumbent dan ada pula yang diketahui
karena memang diucapkan secara langsung oleh oknum guru tersebut bahwa ada
intervensi politik di sekolah. Terbukti atau tidak, kasus yang terjadi sebelum
atau setelah pilkada tersebut berlangsung dinilai beberapa pihak sebagai
“ancaman” guru terhadap keberaniannya melawan rezim tertentu. Meski dengan
alasan profesionalitas guru, penilaian terhadap mutasi “buatan” tersebut tentu
berbeda penuturannya jika yang menilai adalah korban atau orang-orang terdekatnya
atau bisa juga menjadi rahasia umum yang tak dapat dibuktikan kebenarannya.
Sekali lagi, profesionalitas menjadi korban untuk menguji idealitas guru.
Berbagai kalangan
menilai bahwa harus ada pemisahan profesi pendidik dengan proses politik yang
sedang berkembang. Padahal tidak salah jika memang ada oknum guru atau stakeholder sekolah lainnya yang ingin
melibatkan diri dalam proses tersebut. Sebagai sebuah profesi yang tidak biasa,
yang mengharuskan kata digugu dan ditiru melekat dalam dirinya, guru dinilai
sebagai orang yang sah-sah saja menjadi alternatif baru bagi keterwakilan
rakyat di kursi legislatif. Tentu selama prosesnya sesuai prosedur yang
berlaku. Saat inipun masih banyak keluaran LPTK yang menunjukkan performa yang
baik dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Hanya saja yang perlu dipahami
oleh stakeholder pendidikan saat ini bahwa
pendidikan sebagai sebuah wadah untuk memproduksi para politikus muda, maka
perlu memberikan pemahaman yang kompleks tentang cara berpolitik yang baik dan
sesuai etika dan norma yang berlaku. Sehingga dapat melahirkan generasi baru
yang diharapkan mampu mengubah tren berpikir masyarakat seputar dunia politik
yang cenderung negatif. Momentum pendidikan karakter yang sedang populer saat
ini juga diharapkan memberi harapan baru untuk perkembangan politik yang baik
di kalangan pelajar. Momentum ini dapat dimanfaatkan menjadi sarana untuk
membentuk pribadi siswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang hakiki.
Penulis adalah
anggota
Dewan
Pertimbangan Organisasi
LSIP FKIP Unhalu
periode 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar