Total Jendela Terbuka

Selasa, 30 April 2013

Jendela Opini


Pendidikan dalam Pusaran Politik
Oleh: Maulana Jayadin

Berbicara tentang pendidikan politik tentu berbeda dengan politik pendidikan. Pendidikan politik berkaitan dengan membentuk pemahaman masyarakat seputar dunia politik. Sedangkan politik pendidikan justru identik terhadap hal negatif yaitu berkaitan dengan upaya satu atau segelintir orang untuk menggunakan dunia pendidikan sebagai alat sekaligus target politiknya. Walaupun berbeda, antara pendidikan politik dan politik pendidikan memiliki hubungan sebab akibat yang sangat kental.

Politik pendidikan memang bukan hal yang baru bagi masyarakat. Sifatnya seperti “hantu” karena dapat dirasakan tetapi terkadang sulit dibuktikan karena alasan-alasan tertentu. Pendidikan pun juga bukan hal yang tidak mungkin dipolitisir. Sebagai sebuah sarana untuk membentuk paradigma dan kepribadian masyarakat, pendidikan berubah menjadi lahan subur bagi para politikus yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Hubungan politik dan pendidikan sebenarnya dapat diibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Sebagai tempat untuk melahirkan generasi penerus bangsa, maka secara tidak langsung pendidikan pun menjadi tempat berkembangnya para politikus muda. Peserta didik akan dihadapkan dengan permasalahan yang terjadi di negaranya lalu merekapun akan termotivasi untuk mencari solusi terhadap hal tersebut. Bahkan mereka tidak segan untuk terlibat langsung di dalamnya. Jadi jangan heran jika selalu bermunculan anak-anak di bawah 17 tahun yang sudah melek politik atau menjadi anggota partai politik tertentu. Begitu pula sebaliknya, sistem politik yang begitu komplit akan bertanggung jawab terhadap setiap kehidupan bangsa Indonesia di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Meski sistem politik tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan kebijakan, tetapi para wakilnya di legislatif dan eksekutif akan mengambil peran penting dalam pengambilan kebijakan tersebut. Sehingga terjadi siklus yaitu politik mengatur pendidikan dan pendidikan membentuk dunia politik.

Kasus tercemarnya pendidikan dalam dunia politik merupakan fakta lama yang diungkap kembali. Fakta tersebut telah terjadi sejak zaman Kerajaan Hindu di Indonesia mulai berkembang saat itu. Adanya perbedaan kasta menyebakan pendidikan harus diterima berbeda oleh masyarakat yang memahami perbedaan kasta tersebut. Begitu juga pada zaman Kerajaan Islam dimana keraton mengambil peranan penting dalam perkembangan pondok pesantren, meskipun pada perkembangannya kendali pondok pesantren di ambil alih oleh para kyai dan ulama. Termasuk pula perbedaan antara derajat pendidikan masyarakat pribumi dan kolonial pada Zaman Penjajahan Kolonial Belanda dimana bangsa pribumi mendapat pendidikan yang sangat rendah bahkan di tanahnya sendiri. Intervensi dunia pendidikan juga terjadi pada masa Orde Baru dimana Presiden Soeharto memegang penuh kendali politik dalam dunia pendidikan di era itu. Bertahannya Presiden Soeharto selama 32 tahun menjabat merupakan hasil konkrit dari intervensi tersebut. Hal inilah yang nantinya menyebabkan terciptanya budaya intervensi tersebut seperti yang dirasakan sekarang ini.

Pendidikan dalam Proyek Politik

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 31 ayat 4 secara eksplisit dinyatakan bahwa anggran pendidikan diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan angka yang cukup fantastis tersebut, pendidikan menjadi daya tarik sendiri bagi para pemegang proyek di negeri ini yang mana di dalamnya terdapat oknum politik. Sehingga tidak jarang ada komentar miring yang beredar bahwa beberapa kebijakan pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembuatan kurikulum baru, serta beberapa kebijakan pendidikan lainnya di tingkat pusat dan daerah, dipandang sebagai sebuah megaproyek para pemegang kekuasaan.

Kesan pragmatis itupun sering terlihat ketika menjelang pilkada berlangsung. Dengan berbekal pemantauan di lapangan dan rasa optimis, para calonpun membeberkan rencana programnya di bidang pendidikan mulai dari bantuan sarana dan prasarana sekolah, alat tulis, beasiswa, hingga biaya sekolah yang ditanggung oleh pemerintah. Saling klaim program terbaik pun tak terelakkan. Meskipun nanti pasca tepilihnya, proyek yang digadang-gadang dapat meningkatkan kualitas pendidikan tersebut dinilai tak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan pendidikan di daerahnya itu. Sebab, kalau memang niatan sudah proyek, tujuannya juga pasti ke arah proyek. Masyarakat tentu lebih layak menilai hal tersebut. Apalagi proyek-proyek yang dimainkan itu ikut menjadi bulan-bulanan oknum sekolah yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat pun hanya mendapat potongan bantungan yang sudah dipotong pula.

Guru dan Politik

Sebagai seorang yang berperan penting dalam proses pembelajaran serta berinteraksi langsung dengan siswa, warga sekolah, orang tua siswa, hingga masyarakat, guru dinilai sebagai objek politik yang sangat menjanjikan. Maka tak heran jika banyak oknum guru yang mumpuni terlibat dalam politik praktis baik karena dilibatkan maupun karena melibatkan diri dalam proses perpolitikan tersebut. Namun, baik secara langsung atau tidak, ada juga guru yang hanya dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu dan ada pula yang termanfaatkan oleh kepentingan tersebut.

Masih teringat dengan jelas beberapa kasus mutasi guru dan kepala sekolah di beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara yang terindikasi berkaitan dengan proses pilkada yang berlangsung. Ada yang terindikasi karena keluarganya adalah lawan politik incumbent dan ada pula yang diketahui karena memang diucapkan secara langsung oleh oknum guru tersebut bahwa ada intervensi politik di sekolah. Terbukti atau tidak, kasus yang terjadi sebelum atau setelah pilkada tersebut berlangsung dinilai beberapa pihak sebagai “ancaman” guru terhadap keberaniannya melawan rezim tertentu. Meski dengan alasan profesionalitas guru, penilaian terhadap mutasi “buatan” tersebut tentu berbeda penuturannya jika yang menilai adalah korban atau orang-orang terdekatnya atau bisa juga menjadi rahasia umum yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Sekali lagi, profesionalitas menjadi korban untuk menguji idealitas guru.

Berbagai kalangan menilai bahwa harus ada pemisahan profesi pendidik dengan proses politik yang sedang berkembang. Padahal tidak salah jika memang ada oknum guru atau stakeholder sekolah lainnya yang ingin melibatkan diri dalam proses tersebut. Sebagai sebuah profesi yang tidak biasa, yang mengharuskan kata digugu dan ditiru melekat dalam dirinya, guru dinilai sebagai orang yang sah-sah saja menjadi alternatif baru bagi keterwakilan rakyat di kursi legislatif. Tentu selama prosesnya sesuai prosedur yang berlaku. Saat inipun masih banyak keluaran LPTK yang menunjukkan performa yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Hanya saja yang perlu dipahami oleh stakeholder pendidikan saat ini bahwa pendidikan sebagai sebuah wadah untuk memproduksi para politikus muda, maka perlu memberikan pemahaman yang kompleks tentang cara berpolitik yang baik dan sesuai etika dan norma yang berlaku. Sehingga dapat melahirkan generasi baru yang diharapkan mampu mengubah tren berpikir masyarakat seputar dunia politik yang cenderung negatif. Momentum pendidikan karakter yang sedang populer saat ini juga diharapkan memberi harapan baru untuk perkembangan politik yang baik di kalangan pelajar. Momentum ini dapat dimanfaatkan menjadi sarana untuk membentuk pribadi siswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang hakiki.

Penulis adalah anggota
Dewan Pertimbangan Organisasi
LSIP FKIP Unhalu periode 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar