Total Jendela Terbuka

Selasa, 30 April 2013

Di Balik Kaca


TIGA SETANGKAI, TANGKAI PATAH


Mencoba rehat sejenak
Berpikir...
Menatap Cahaya...
Hmmm, sepertinya kita telah menemukan solusi

Jendela Esai


Menggali Sumur Peradaban di Ladang Reformasi

Oleh: Maulana Jayadin, Mahasiswa Fakultas FKIP, Jurusan Pendidikan MIPA, Universitas Haluoleo.

Indonesia, negara makmur dan subur tanahnya diikuti oleh kemakmuran dan kesuburan masalah yang dihadapinya. Masalah itu seakan terjadi secara kontinu, berlangsung begitu menarik, hingga menjadi santapan rutin pemirsa media cetak dan elektronik. Sungguh naas bagi bangsa ini,  beribu upaya telah dieksperimenkan untuk mengatasi  masalah yang kian menggunung tersebut. Wacana tinggal wacana, bencana semakin merana. Dongeng kemakmuran bangsa, cerita kebanggaan negara hanya menjadi konsep lama yang telah tertutup kabut masalah.

Harapan kemakmuran bangsa itu sebenarnya sempat terdengar begitu jelas ketika ribuan mahasiswa menembus jantung pemerintahan, menggulingkan sang diktator bangsa, dan menginjak gedung perjudian para kaum elit negara yang sering digunakan untuk menggaungkan kesejahteraan rakyat jelata demi taruhan tunai yang menghijaukan mata. Reformasi, itulah satu kata yang diteriakkan begitu jelas oleh superhero muda pada saat itu dengan begitu lantang dan dipenuhi dengan bara semangat. Namun, apakah sekarang kita sudah begitu makmur? Tentu tidak. Lalu, harapan kemakmuran mana yang dijanjikan untuk dinikmati segelintir masyarakat pinggiran? Jawabannya sangat jelas, lenyap tanpa bekas.

Melihat kesenjangan antara harapan dan realita, tentu menuai pertanyaan tentang tujuan para oposisi mutlak pemerintah menguapkan harapan besar itu ke permukaan. Tujuan dari mimpi itu pada hakikatnya adalah menciptakan keadilan dan ekonomi yang makmur bagi bangsa Indonesia melalui reformasi berbagai sektor, terutama sektor birokrasi, hukum, dan ekonomi. Sektor-sektor inilah yang paling sering mendapat sorotan tajam dari kaum pemerhati masyarakat. Betapa tidak, kasus demi kasus seiringan bersahut-sahutan menjadi top news media. Kalau bukan korupsi, tawuran, kenaikan harga barang, paling tidak reshuffle kabinet yang mencerminkan kegagalan singa reformasi melindungi bangsanya yang tertindas.

Pada awal kemunculan wacana reformasi, konsep dasar yang paling pertama diusungkan adalah penggulingan pemerintahan rezim Presiden Soeharto. Pada waktu itu, muncul tokoh-tokoh pembaharu yang bercuap-cuap akan membela rakyat dan mensejahterakan rakyat dengan menentang pemerintahan yang dianggap arogan tersebut. Nyawa sebagai taruhan, yang mati akan disebut ‘pahlawan’, yang selamat dan duduk di kekuasaan lambat laun akan berubah dan lupa komitmen awal perjuangan. Alhasil, tujuannya menggulingkan peradaban yang otoriter malah memunculkan peradaban yang kebablasan dengan segala pernak-pernik di dalamnya.

Masyarakat dalam Reformasi

Mengenai masalah tersebut, masyarakat pinggiran tidak mau ambil pusing dengan lingkaran reformasi yang katanya dapat mensejahterhakan mereka. Sebab dalam kenyataannya, mereka masih hidup dalam lubang kesengsaraan di arus perbincangan reformasi yang tidak jelas buktinya. Pada intinya, yang mereka tahu hanyalah mencari makan untuk hari ini sambil memikirkan hidangan apa yang dapat mereka santap besok. Begitulah perputaran hidup mereka, tidak ada waktu hanya untuk sekedar memikirkan segelintir masalah negara karena masalah besar mereka justru ada di hadapan mereka.

Saat ini, kepercayaan rakyat pada penciptaan reformasi telah luntur ditelan waktu. Pemerintah boleh mengklaim bahwa melalui reformasi meraka telah mengurangi kemiskinan. Yah, setidaknya mengangkat derajat rakyat dari bawah garis kemiskinan menjadi tepat di garis kemiskinan. Survey pemerintah yang lain juga boleh mengatakan bahwa income perkapita negeri ini telah membaik, tetapi hal ini justru tidak mewakili keberadaan masyarakat kolong jembatan yang tentu jauh dari standarisasi pendapatan yang layak. Jika begitu keadaannya, reformasi apa lagi yang harus rakyat mimpikan?

Refleksi Perjalanan Panjang Reformasi

Perjalanan panjang reformasi dimulai ketika muncul ketidakpuasan rakyat atas pemerintahan otoriter yang dipertontonkan oleh rezim Soeharto. Saat itu, rakyat sudah melihat adanya penyelewengan dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini ditandai dengan maraknya praktek KKN dan menjadikan rakyat sebagai objek pemerasan oleh birokrat. Sehingga, mahasiswa yang dibantu oleh masyarakat dan tokoh nasional mulai menyusun strategi untuk menggulingkan pemerintahan tersebut. Puncaknya terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 ketika penurunan Presiden Soeharto harus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa tiga orang panji reformasi yang dengan ikhlas memperjuangkan hak rakyat.

Jatuhnya rezim yang terkenal dengan rezim orde baru tersebut tidak lantas menyelesaikan masalah negara yang begitu pekat terasa di hati rakyat Indonesia. Keadaaan ini membuat para tokoh reformasi memutarbalikkan otak untuk mencari jalan keluar terbaik bagi permasalahan bangsa, hingga muncullah gagasan yang selanjutnya dibingkai dalam Kabinet  Reformasi. Seiring tapak reformasi dilangkahkan, maka pembenahanpun dilakukan dengan diajukannya usulan reformasi birokrasi, hukum, ekonomi, dan lain-lain.

Reformasi birokrasi adalah reformasi yang paling banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Dalam hal ini, ada lima indikator yang menghambat diterapkannya reformasi birokrasi. Pertama, seperti tidak ada sistem intensif untuk melakukan perbaikan. Kedua, buruknya tingkat diskresi. Diskresi membutuhkan rambu-rambu, antara lain asas-asas umum pemerintahan yang baik, sesuai dengan tujuan pemberian diskresi itu sendiri. Ketiga, gaya birokrasi yang bersifat nepotisme, gaya ini sudah mulai subur kembali di kalangan birokrat dan tidak ubahnya seperti pada masa Orde Baru, birokrasi dijadikan lahan subur untuk praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Bahkan, tokoh reformasi, Amien Rais, menyatakan bahwa pada awalnya wacana agar presiden dipilih langsung oleh rakyat adalah untuk menghindari politik uang, karena kalau yang memilih 550 anggota MPR itu sangat rentan dengan politik uang. Tetapi di luar dugaan semula, pemilihan langsung juga sangat rentan dengan uang, bahkan lebih ironis karena telah menyentuh tingkat daerah. Keempat, kurang sinkronnya antara atasan dan bawahan serta jajaran birokrat yang terkait. Hal ini mengakibatkan tidak optimalnya sistem pelayanan publik yang selama ini didambakan oleh rakyat. Kelima, masih kurangnya sosial kontrol anggota DPRD terhadap kinerja birokrasi yang mengakibatkan pelayanan publik terabaikan.

Jika dalam birokrasi saja telah mengalami kekacauan, tentu dampaknya akan merebak ke sektor lain termasuk sektor hukum. Dalam sektor ini, reformasi yang dilakukan adalah dengan menciptakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan membuat lembaga independent yang dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di awal kinerjanya, lembaga ini sukses menjaring para penjilat uang rakyat hingga ke tingkat pemerintah pusat dan daerah. Sepak terjang KPK inilah yang justru menjadi bumerang bagi keberlanjutannya, karena serangan balik ‘buaya’ hingga ‘biawak’ secara bertubi-tubi mendera lembaga ini. Akhirnya, sejumlah ketua lembaga ini dijerat perangkap yang membuatnya harus angkat kaki dari lembaga ini. Serangan korupsipun dilanjutkan, tetapi yang satu ini malah makin beringas, sehingga memaksa petinggi negara untuk mencari sang pembasmi koruptor lain untuk mengurangi korupsi yang terjadi. Lalu, apakah dengan pergantian pemimpin itu dapat membayar harga kepuasan masyarakat yang sempat meluap?

Reformasi yang tidak kalah penting adalah reformasi dalam sektor ekonomi. Potret kemiskinan di kota-kota besar ditandai dengan menjamurnya rumah-rumah semi permanen di bantaran sungai dan sisi rel kereta api, banyaknya anak jalanan, pengemis dan gelandangan. Sementara di pedesaan, kemiskinan ditunjukkan dengan keterbatasan infrastruktur, rendahnya akses pendidikan dan informasi, serta semakin banyaknya generasi muda yang memilih bekerja sebagai buruh migran di negara-negara tetangga. Definisi kemiskinan maupun parameter yang digunakan untuk menentukan miskin tidaknya seseorang, seringkali berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh titik pijak yang berbeda, sebagai misal angka kemiskinan versi BPS akan berbeda dengan versi World Bank. Di tingkat tataran mikro, secara ekstrim dapat digambarkan bahwa miskin tidaknya seseorang ditentukan oleh Surat Keterangan Miskin dari Ketua RT. Angka kemiskinan di Indonesia berdasarkan catatan BPS pada tahun 2010 masih cukup tinggi yaitu di kisaran angka 14 persen. Jadi, apakah dengan data ini pemerintah akan mengelak lagi bahwa keberhasilannya dalam menuntaskan kemiskinan masih memiliki IPK di bawah 2,5?

Menggali kembali harapan peradaban reformasi

Tidak bisa disangkal bahwa reformasi yang dulu kita cita-citakan tidak mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Kembali ke hakekat reformasi bahwa reformasi memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Selama keteraturan lembaga birokrasi dan penegakan hukum itu mampu dipertahankan untuk bangsa, pasti jalan itu akan terbuka lebar. Kita sekarang ibarat menggali sebuah sumur peradaban sebagai sumber kehidupan di tengah ladang reformasi yang begitu keras. Sekarang waktunya kita bangun dan sadar bahwa inilah surga kita, surga tempat kita dilahirkan, mari kita bangun bangsa melalui reformasi sesungguhnya dengan penuh kebanggaan dan berteriak dalam hati ‘Inilah Indonesiaku’.

Biodata:
Judul Naskah: Menggali Sumur Peradaban di Ladang Reformasi
Nama Penulis: Maulana Jayadin
Tempat & Tanggal Lahir: Kolaka, 08 Oktober 1992
Nama Perguruan Tinggi: Universitas Haluoleo
Nama Fakultas, Jurusan: FKIP, Pend. MIPA
Domisili (Alamat Surat): Jl. Jend. A.H. Nasution, Lr. H. Guntur, Kendari
Alamat Email: adhin.ani@gmail.com
Telepon: -
Ponsel: 085241632778

Jendela Opini


Pendidikan dalam Pusaran Politik
Oleh: Maulana Jayadin

Berbicara tentang pendidikan politik tentu berbeda dengan politik pendidikan. Pendidikan politik berkaitan dengan membentuk pemahaman masyarakat seputar dunia politik. Sedangkan politik pendidikan justru identik terhadap hal negatif yaitu berkaitan dengan upaya satu atau segelintir orang untuk menggunakan dunia pendidikan sebagai alat sekaligus target politiknya. Walaupun berbeda, antara pendidikan politik dan politik pendidikan memiliki hubungan sebab akibat yang sangat kental.

Politik pendidikan memang bukan hal yang baru bagi masyarakat. Sifatnya seperti “hantu” karena dapat dirasakan tetapi terkadang sulit dibuktikan karena alasan-alasan tertentu. Pendidikan pun juga bukan hal yang tidak mungkin dipolitisir. Sebagai sebuah sarana untuk membentuk paradigma dan kepribadian masyarakat, pendidikan berubah menjadi lahan subur bagi para politikus yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Hubungan politik dan pendidikan sebenarnya dapat diibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Sebagai tempat untuk melahirkan generasi penerus bangsa, maka secara tidak langsung pendidikan pun menjadi tempat berkembangnya para politikus muda. Peserta didik akan dihadapkan dengan permasalahan yang terjadi di negaranya lalu merekapun akan termotivasi untuk mencari solusi terhadap hal tersebut. Bahkan mereka tidak segan untuk terlibat langsung di dalamnya. Jadi jangan heran jika selalu bermunculan anak-anak di bawah 17 tahun yang sudah melek politik atau menjadi anggota partai politik tertentu. Begitu pula sebaliknya, sistem politik yang begitu komplit akan bertanggung jawab terhadap setiap kehidupan bangsa Indonesia di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Meski sistem politik tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan kebijakan, tetapi para wakilnya di legislatif dan eksekutif akan mengambil peran penting dalam pengambilan kebijakan tersebut. Sehingga terjadi siklus yaitu politik mengatur pendidikan dan pendidikan membentuk dunia politik.

Kasus tercemarnya pendidikan dalam dunia politik merupakan fakta lama yang diungkap kembali. Fakta tersebut telah terjadi sejak zaman Kerajaan Hindu di Indonesia mulai berkembang saat itu. Adanya perbedaan kasta menyebakan pendidikan harus diterima berbeda oleh masyarakat yang memahami perbedaan kasta tersebut. Begitu juga pada zaman Kerajaan Islam dimana keraton mengambil peranan penting dalam perkembangan pondok pesantren, meskipun pada perkembangannya kendali pondok pesantren di ambil alih oleh para kyai dan ulama. Termasuk pula perbedaan antara derajat pendidikan masyarakat pribumi dan kolonial pada Zaman Penjajahan Kolonial Belanda dimana bangsa pribumi mendapat pendidikan yang sangat rendah bahkan di tanahnya sendiri. Intervensi dunia pendidikan juga terjadi pada masa Orde Baru dimana Presiden Soeharto memegang penuh kendali politik dalam dunia pendidikan di era itu. Bertahannya Presiden Soeharto selama 32 tahun menjabat merupakan hasil konkrit dari intervensi tersebut. Hal inilah yang nantinya menyebabkan terciptanya budaya intervensi tersebut seperti yang dirasakan sekarang ini.

Pendidikan dalam Proyek Politik

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 31 ayat 4 secara eksplisit dinyatakan bahwa anggran pendidikan diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan angka yang cukup fantastis tersebut, pendidikan menjadi daya tarik sendiri bagi para pemegang proyek di negeri ini yang mana di dalamnya terdapat oknum politik. Sehingga tidak jarang ada komentar miring yang beredar bahwa beberapa kebijakan pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembuatan kurikulum baru, serta beberapa kebijakan pendidikan lainnya di tingkat pusat dan daerah, dipandang sebagai sebuah megaproyek para pemegang kekuasaan.

Kesan pragmatis itupun sering terlihat ketika menjelang pilkada berlangsung. Dengan berbekal pemantauan di lapangan dan rasa optimis, para calonpun membeberkan rencana programnya di bidang pendidikan mulai dari bantuan sarana dan prasarana sekolah, alat tulis, beasiswa, hingga biaya sekolah yang ditanggung oleh pemerintah. Saling klaim program terbaik pun tak terelakkan. Meskipun nanti pasca tepilihnya, proyek yang digadang-gadang dapat meningkatkan kualitas pendidikan tersebut dinilai tak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan pendidikan di daerahnya itu. Sebab, kalau memang niatan sudah proyek, tujuannya juga pasti ke arah proyek. Masyarakat tentu lebih layak menilai hal tersebut. Apalagi proyek-proyek yang dimainkan itu ikut menjadi bulan-bulanan oknum sekolah yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat pun hanya mendapat potongan bantungan yang sudah dipotong pula.

Guru dan Politik

Sebagai seorang yang berperan penting dalam proses pembelajaran serta berinteraksi langsung dengan siswa, warga sekolah, orang tua siswa, hingga masyarakat, guru dinilai sebagai objek politik yang sangat menjanjikan. Maka tak heran jika banyak oknum guru yang mumpuni terlibat dalam politik praktis baik karena dilibatkan maupun karena melibatkan diri dalam proses perpolitikan tersebut. Namun, baik secara langsung atau tidak, ada juga guru yang hanya dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu dan ada pula yang termanfaatkan oleh kepentingan tersebut.

Masih teringat dengan jelas beberapa kasus mutasi guru dan kepala sekolah di beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara yang terindikasi berkaitan dengan proses pilkada yang berlangsung. Ada yang terindikasi karena keluarganya adalah lawan politik incumbent dan ada pula yang diketahui karena memang diucapkan secara langsung oleh oknum guru tersebut bahwa ada intervensi politik di sekolah. Terbukti atau tidak, kasus yang terjadi sebelum atau setelah pilkada tersebut berlangsung dinilai beberapa pihak sebagai “ancaman” guru terhadap keberaniannya melawan rezim tertentu. Meski dengan alasan profesionalitas guru, penilaian terhadap mutasi “buatan” tersebut tentu berbeda penuturannya jika yang menilai adalah korban atau orang-orang terdekatnya atau bisa juga menjadi rahasia umum yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Sekali lagi, profesionalitas menjadi korban untuk menguji idealitas guru.

Berbagai kalangan menilai bahwa harus ada pemisahan profesi pendidik dengan proses politik yang sedang berkembang. Padahal tidak salah jika memang ada oknum guru atau stakeholder sekolah lainnya yang ingin melibatkan diri dalam proses tersebut. Sebagai sebuah profesi yang tidak biasa, yang mengharuskan kata digugu dan ditiru melekat dalam dirinya, guru dinilai sebagai orang yang sah-sah saja menjadi alternatif baru bagi keterwakilan rakyat di kursi legislatif. Tentu selama prosesnya sesuai prosedur yang berlaku. Saat inipun masih banyak keluaran LPTK yang menunjukkan performa yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Hanya saja yang perlu dipahami oleh stakeholder pendidikan saat ini bahwa pendidikan sebagai sebuah wadah untuk memproduksi para politikus muda, maka perlu memberikan pemahaman yang kompleks tentang cara berpolitik yang baik dan sesuai etika dan norma yang berlaku. Sehingga dapat melahirkan generasi baru yang diharapkan mampu mengubah tren berpikir masyarakat seputar dunia politik yang cenderung negatif. Momentum pendidikan karakter yang sedang populer saat ini juga diharapkan memberi harapan baru untuk perkembangan politik yang baik di kalangan pelajar. Momentum ini dapat dimanfaatkan menjadi sarana untuk membentuk pribadi siswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang hakiki.

Penulis adalah anggota
Dewan Pertimbangan Organisasi
LSIP FKIP Unhalu periode 2013