Potensi
Ubi Hutan sebagai Alternatif Industrialisasi dan Ketahanan Pangan Lokal
Masyarakat
Sulawesi Tenggara, khususnya yang berada di daerah Sultra Kepulauan tentu tidak
merasa asing dengan buah Kolope. Tanaman yang dikenal di Indonesia sebagai
tanaman Ubi Hutan atau Gadung (Dioscorea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae) tergolong tanaman
umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Ubi hutan menghasilkan
umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing
dan muntah apabila kurang benar pengolahannya (Wikipedia, 2013).
Tanaman ini tumbuh liar
di hutan-hutan. Selama masa pertumbuhan tidak membutuhkan perawatan atau
penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkosumsinya melakukan pengolahan
terhadap ubi hutan di saat musim kemarau panjang. Ketika kemarau datang,
masyarakat pergi ke hutan mencari ubi hutan dan kemudian mengolahnya menjadi
bahan makanan (Aman, 2007). Meskipun demikian, terdapat pula masyarakat yang
masih menganggap tanaman ini sebagai makanan khas yang layak dicicipi meskipun tidak
mengalami kemarau panjang ataupun krisis pangan. Uniknya, pengolahan yang baik terhadap
ubi hutan dapat membuatnya bertahan hingga dapat dikonsumsi lagi pada tahun
berikutnya. Sehingga tanaman ini menjadi sangat berpotensi sebagai alternatif
ketahanan pangan nasional.
Berbagai kelompok
masyarakat di Sulawesi Tenggara mengolah ubi hutan dengan cara yang berbeda. Di
Kabupaten Muna, setelah ubi hutan diiris tipis dan dijemur dalam beberapa hari
hingga kering seperti kerupuk, selanjutnya dilakukan perendaman dalam air garam
(air laut) (Aman 2007). Pada daerah Bau-Bau khususnya di pedesaan, Kolope (ubi
hutan) yang telah diiris dan dijemur hingga kering diaduk dalam wadah yang
berisi air laut selama setengah hari. Setelah itu, ubi hutan ditiriskan dan dikeringkan
secara sederhana dengan bantuan angin. Sedangkan di Kabupaten Konawe Selatan,
ubi hutan yang dikenal dengan sebutan O Wikoro diolah dengan menaruh ubi hutan
yang telah dikupas ke dalam jaring yang dikaitkan pada sebuah sungai yang
mengalir selama seharian. Kemudian hasilnya diiris tipis-tipis lalu dikeringkan
dengan bantuan matahari.
Namun, hasil survey
penelitian diperoleh bahwa perendaman memiliki tujuan yang sama, yaitu
mengurangi kadar racun dalam ubi hutan (Aman, 2007). Kadar racun yang dimaksud
adalah zat toksik yang dapat
terhidrolisis sehingga terbentuk asam sianida (HCN). Efek terbentuknya HCN yang
di rasakan apabila kita memakan ubi hutan yang tidak sesuai dengan anjuran
yaitu tidak nyaman ditengorokan, diikuti pusing, muntah darah, rasa tercekik,
mengantuk dan kelelahan (Deptan, 2013). Bahkan dalam jumlah yang sangat besar dapat
menyebabkan kematian.
Tantangan inilah yang
selama ini menyebabkan kurangnya ketertarikan masyarakat terhadap potensi ubi
hutan. Padahal selain jumlahnya yang mudah ditemui di hutan secara liar, pengelolaannya
pada masyarakat sungguh beragam. Tidak hanya sebatas pada makanan pokok saja,
tetapi juga dapat diolah dalam bentuk makanan khas daerah, kripik instan
berbagai rasa, dan berbagai pangan inovasi lainnya. Jika pemerintah mampu
mengembangkan jenis tanaman ini, tentu akan menjadi ikon daerah yang akan
menjadi alternatif industrilisasi pangan lokal.
Oleh : Maulana Jayadin,
Universitas Haluoleo
Sumber:
Aman, La Ode. 2007. Efektifitas
Penjemuran Dan Perendaman Dalam Air Tawar Untuk Menurunkan Kandungan Toksik HCN
Ubi Hutan (Dioscorea Hispida Dennst). UNG: Gorontalo. Diakses dari: http://ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/NJ/article/download/42/13.
Departemen Pertanian. 2013. Manfaat Umbi Gadung Sebagai Pangan Alternatif, Pestisida Nabati Dan Pupuk Organik Cair. Diakses dari: http://cybex.deptan.go.id/lokalita/ manfaat-umbi-gadung-sebagai-pangan-alternatif-pestisida-nabati-dan-pupuk-organik-cair.
Wikipedia. 2013. Diakses
dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gadung.
Sumber Link:
http://beranda.miti.or.id/potensi-ubi-hutan-sebagai-alternatif-industrialisasi-dan-ketahanan-pangan-lokal-2/
Sumber Link:
http://beranda.miti.or.id/potensi-ubi-hutan-sebagai-alternatif-industrialisasi-dan-ketahanan-pangan-lokal-2/